Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 16 Februari 2009

CATATAN PERJALANAN KE MDURA 3

Obrolan dan Buaian Angin Malam Workshop

Masih di hari pertama Senin 9 Pebruari 2009 selepas menyapu bersih menu makan siang di dapurnya Ust. Abd. Salam tiba-tiba aku dikejutkan nada dering pesan khas HP-ku yang berisi sebuah informasi kedatangan seorang temanku dari tanah betawi si Jamal Mu'asyiq anak betawi yang telah lama hidup di lingkungan pesantren, bahkan menurut penuturannya dia masuk pesantren mulai dari SD sampai pada level perguruan tingginya, pada pesantren yang berbeda dan yang terakhir Al-Amien dipilihnya. Lumayan lama bukan…!!?

Kepribadian hidupnya yang begitu sangat kental dengan tradisi pesantren menjadikan dia kelihatan sangat familiar dengan siapa saja, termasuk denganku. Mengenalnya sekitar 7 tahun yang silam ketika aku duduk sekelas dengannya di kelas V TMI. Walau waktu itu keakrabannya masih belum kelihatan, namun sosoknya yang tegas dan santunn menjadikan aku dan teman-temanku senang bergaul dengannya. Persahabatanku dengannya semakin kental ketika masa-masa pengabdian di pondok, bahkan pada beberapa moment aku sempat diajak olehnya hanya sekadar santai take a rest Madura-Surabaya. Wajar saja jika dia yang selalu mengajakkku karena budget kesehariannya memang di atasku atau boleh sedikit mendekati tajir.

Ikatan emosional sebagai seorang alumni Al-Amien menambah keakraban itu, sehingga begitu dia datang dan tahu kalau aku juga ada di pondok kontan langsung menghubungiku. Sebagai seorang teman aku juga merespon dengan baik uluran kangen seorang sahabat jauh dengan beranjak menemuinya ke kamar Dhofir kurus yang menjadi persinggahan Jamal. Walau kurun waktu perpisahan tidak terlalu lama tapi nampak perbedaan yang terlihat pada dirinya, secara fisik Nampak sedikit gemuk. Melihat perubahan tersebut kontan keluar guyonan khas keakraban "Makan apa ja kamu Mal di Jakarta?". Jamal hanya tersenyum sambil menjawab dengan nada tidak meyakini perubahan fisiknya yang semakin gemuk." Masa sih Gw Gemuk, kayaknya gak deh".

Guyonan keakraban terus mengalir hingga waktu Ashar mendekati. Suara tawa menghiasi kamar sahabatku Dhofir, yang dikenal mempunyai tipikal dan kemampuan membuat orang terpingkal-pingkal. Gaya bicara dan gerak refleknya tidak kalah dengan Budi Anduk-nya tawa sutra. Pokoknya jika Dhofir si pemilik badan lurus dan kurus ini beraksi maka ruangan akan menjadi riuh dengan gelak tawa. Aku cukup senang di siang menjelang sore itu, akhirnya perbicangan itu diakhiri dengan sholat Ashar dan aku beranjak menuju kamar asatidz di ta'mir sekadar bernostalgia bersama mereka hingga maghrib tiba.

Malam pun kembali datang dengan diawali kembalinya matahari ke peraduannya. Alunan ayat-ayat suci al-Qur'an terdengar di pojok-pojok pondok, semua santri menjalankan aktifitasnya lewat ibadah-ibadah lailiyah yang telah diprogramkan oleh pondok, mulai dari ngaji al-Qur'an, Sholat Jama'ah serta ta'lim jama'je atau biasa disebut Muwajjah, masih berjalan seperti dulu. Sementara aku dinner di dapurnya KH. Marzuqi Ma'ruf sekaligus juga bernostalgia dengan masakan yang sering aku lahap dulu. Menunya masih menggairahkan, ada sambel pedas beraroma terasi, udang berbalut tepung, telur dan tak ketinggalan menu wajib tahu produksi dalam negeri he….he…. Dengan lahapnya aku menikmati hidangan tersebut sampai akhirnya rasa laparku lenyap berganti kenyang. "Al-hamdulillah" aku berujar yang kemudian diikuti ucapa terima kasih untuk Ibu dapurnya. "Syukron ya Bu Dapur…….!!!

Malam itu benar-benar malam istimewa bagiku, dimana teman-temanku yang dari Bangkalan juga datang ke pondok. Hal itu baru aku ketahui setelah aku membuka pesan singkat yang dikirim Dhofir anak aneh dari Kangean itu. Mereka telah menungguku di Workshop markasku dulu sebelum kepergianku ke kota Gudeg. Akhirnya dengan perasaan happy aku menyusuri jalan menuju workshop yang masih agak gelap dengan penerangan yang sangat minim. Terlihat wajah Workshop dari jauh masih seperti dulu, lampu remang-remangnya yang menjadikan aku tidak lupa dengan markasku dan teman-temanku selama mengerjakan skripsi itu. Namun sedikit ada perubahan pada ruangan sebelah selatan yang Nampak sangat gelap karena memang tidak ada lampu satupun yang dinyalakan. Setelah aku tahu ternyata ruangan sebelah selatan memang tidak ada orang yang mau menempatinya. Aku sedikit bertanya-tanya, ada apa dengan bekas tempatku itu, apa mereka merasa tidak sopan menempati bekas tempat sang Wali (aku maksudnya) he…..he….

Ah sudahlah aku membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja sebagai pertanyaan guyonan saja. Sesampainya di Workshop teman-teman sudah pada jungkir balik sambil ketawa-ketawa. Ada yang tiduran, merokok, makan to'am ada yang serius bercerita pengalamannya tidak ketinggalan Dhofir langsung menyambutku dengan pertanyaan yang membingungkan " Bawa tepongan (hanya kalangan tertentu yang tahu artinya) Jan ?". Kontan aku langsung ketawa " Gila ya" singkat padat jawabanku kemudian langsung diikuti tawa teman-teman dan rjabat tangan. Semalam suntuk aku dan teman-temanku bertukar cerita. Waktu itu yang datang ada Muhaimin, Muhsin Ma'ruf, Ali Fadhol, Nur Alim, Jamal, Borju, Imron, Dedi Setiawan, Saiful Bahri dan aku sendiri. Aroma ceritanya macam-macam dari yang paling serius menyangkut masa depan Al-Amien, bisnis dan tidak ketinggalan obrolan tentang cewek-cewek seksi he..he..he…

Pergumulan romantis itu diikuti dengan aroma-aroma kopi Pak Sahe yang masih khas mengalahkan aroma kopi Blandongan Jogja yang sempat aku cicipi. Tanpa terasa waktu telah menggiring aku dan teman-temanku mendekati shubuh. Tanpa disuruh satu per satu teman-temanku mulai ada yang tewas berselimut mimpi, kemudian akhirnya aku tidak tahu lagi tiba-tiba aku hilang ditelan gelayutan siraman angin malam Workshop.