Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Halaman

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 14 Agustus 2009

KADO BUAT PESANTREN

Telaah Reflektif-Filosofis Upaya Penyegaran Ideologi Pesantren dari Kejumudan Menuju Pendakian Progresif-Dinamis
Oleh: Ach. Tijani


Sketsa Wajah Pesantren
Negeri ini sudah 64 tahun menikmati kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda. Kemerdekaan itu diperoleh dengan perjuangan dan pertumpahan darah dari para pejuang negeri ini. Salah satu unsur institusi pendidikan yang dengan getol memperjuangkan kemerdekaan adalah, Pesantren. Pesantren dalam sejarahnya adalah lembaga pendidikan Islam yang dengan gigih melawan penjajahan. Perannya dalam mengupayakan bangsa ini merdeka dari penjajahan, terbukti dengan banyaknya perlawanan dari dalam pesantren, baik perlawanan secara kontak fisik ataupun secara ideologi.

Bila dilihat lebih dekat, keberadaan dan peran pesantren dalam membangun negeri ini sudah bermula sebelum datangnya kaum penjajah di negeri ini. Selain basis perlawanan melawan penjajah pada zaman sebelum kemerdekaan, pada mulanya pesantren merupakan institusi penyebaran Islam. Dari pesantren inilah Islam menjadi sebuah agama yang ramah dan dekat pada masyarakat luas. Pada dimensi yang lain pesantren menjadi media sentral dakwah ke-Islaman pada awal penyebaran Islam di bumi Nusantara ini.

Keberadaan pesantren di negeri ini membawa realitas Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Pesantren selain mengemban misi suci penyebaran Islam, di sisi lain sebagai penjaga nuansa keaslian negeri (indigenous), karena secara historis lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren merupakan kelanjutan dalam bentuk Islamisasi dari warisan nenek moyang. Dengan demikian tanpa bisa dibantahkan, pesantren merupakan salah satu warisan kekayaan sistem pendidikan bangsa yang seharusnya dan sewajarnya menjadi kebanggan bagi setiap insan negeri ini.

Jika mau jujur di era kemerdekaan, pesantren tetap eksis menelorkan alumninya sebagai para pemimpin bangsa ini. Sebut saja Gus Dur, orang pesantren sekaligus sebagai bapak bangsa yang kemudian berhasil menjadi orang nomor satu di negeri ini. Selain itu ada beberapa tokoh lain seperti, Din Syamsuddin, Hidayat Nurwahid, Hasyim Muzadi dan lain-lain yang tidak mungkin untuk disebutkan satu-satu. Mereka adalah sebagian saja dari sekian juta lainnya yang mempunyai peran penting dalam membangun bangsa ini. Dengan demikian, pesantren tetap berada pada posisinya sebagai institusi relegius-nasionalis dengan orientasinya yang luhur yaitu, memajukan bangsa.

Peran dan misi suci pesantren yang gemilang itu nampaknya tidak banyak dipahami oleh para pemimpin negeri ini. Bahkan para pemimpin negeri ini lebih banyak mengadopsi warisan penjajah Belanda yang mengarah pada pendiskreditan pesantren. Lihat saja perjalanan putusan-putusan pemerintah yang sedikit memojokkan dunia pesantren dan Islam. Kalau boleh menakar lebih rinci putusan-putasan pemerintah itu bermula dari awal perjalanan pemerintahan pasca deklarasi kemerdekaan hingga pemerintahan saat ini. Diskrimnasi dan pendikreditan itu bermula pada tahun 1950 oleh Presiden Soekarno dengan pola pandang dualisme-dikotomisme (lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan agama) yang memandang pesantren hanya sebagai gerakan ritual belaka. Tendensi pemerintah lebih memilih pendidikan sekuler warisan penjajah ketimbang pesantren yang lebih dulu membangun negeri ini. Aksidensi sejarah itu terjadi ketika ditetapkannya Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai kawah canderadimuka bagi kaum nasionalis serta Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) bagi umat Islam pada tahun 1950. Aksedensi sejarah ini merembes pada eksistensi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam. Sehingga kemudian pesantren hanya sebagai cagar budaya yang minim akan perhatian pemerintah.

Pandangan picik serta serangan yang memojokkan pesantren tidak berhenti sampai disitu. Saat ini pesantren dan dunia Islam sedang dideru agresi maha dahsyat dengan tudingan miring sebagai sarang teroris. Dentuman dan meledaknya bom pada 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriot dan Ritz Calton menambah borok pandangan publik terhadap pesantren dan dunia Islam. Santernya pemberitaan media, bahwa salah satu dari pelaku yang terlibat dalam kejadian itu adalah alumni pesantren. menjadi salah satu faktor semakin memburamnya wajah pesantren di tengah-tengah masyarakat luas.

Demikian sketsa pesantren saat ini, keberadaannya sangat memprihatinkan serta membutuhkan langkah kuratif yang tepat untuk mengembalikan citra pesantren di mata dunia.

Problem dan solusi
Gambaran di atas merupakan deskripsi dunia pesantren yang berada diantara peran dan agresi dunia luar yang mencoba menggusur pesantren dari bumi Nusantra ini. Sudah saatnya pesantren bangkti dari tidurnya dengan mencoba membangun kesadaran agar terus bisa survive menghadapi tantangan yang membentang. Tudingan dan pandangan miring dari dunia luar pesantren setidaknya menjadi stimulan agar pesantren tidak melulu sibuk dengan aktifitas kognitif-normatif (pengajaran) saja, tapi lebih dari itu agar mulai melihat secara integral-universal pada dunia dan problematika yang terjadi.

Diantara kelebihan yang bisa dibanggakan dari dunia pesantren, tentunya menjadi sebuah kesadaran adanya kekurangan yang perlu dibenahi di tubuh pesantren itu sendiri. Pesantren dengan kelebihannya kadang telah membutakan insan pesantren itu sendiri dengan bersikukuh pada romantisme historis kejayaan masa lalu. Kejayaan dan prestasi masa lalu menjadi kebanggaan yang menghilangkan nuansa dinamisasi, sehingga kadang dunia pesantren mengisolasi diri dari perkembangan yang datang dari luar.
Determinisme historis ini mengakar kuat di kalangan orang pesantren. Salah satu penyebabnya adalah pandangan ideologi orang pesantren yang bersifat miopik-narsistik. Sebuah pola pandang yang sempit serta pengagungan yang kelewatan terhadap milik dan diri sendiri. Pola pandang ini tersuguhkan dengan pola prilaku searah dalam sistem pengajaran dan budaya yang berjalan di dunia pesantren. Salah satu contoh adalah, pengkultusan yang berlebihan pada figur sentral (kiyai) serta pengkerdilan sikap kritis para santri. Walaupun ada beberapa pesantren yang mencoba mengikis pola pandang ini, tapi itu semua jika ditilik lebih dalam hanya berupa apologi-difensif yang sifatnya artifisial saja.

Selain daripada itu yang lebih sering didentikkan dengan budaya yang berkembang di pesantren adalah, corak kepimimpinannya yang bersifat kharismatik-feodalis. Corak kepemimpinan seperti itu dinilai untuk saat ini sudah tidak tepat lagi, mengingat dinamika dan perubahan zaman sudah jauh lebih berkembang, sedangkan corak kepemiminan tersebut cenderung mengabaikan kualitas. Dunia modern selalu meminta kualitas ketimbang garis keturunan, untuk itulah tradisi ini perlu juga mendapat penyegaran dengan beralih pada corak kepemimpinan rasional, harapannya agar pesantren bisa benar-benar menjadi milik umat bukan milik kelompok apalagi individu. Corak kepemimpinan ini merupakan kelanjutan dari ideologi kultus yang berkembang di pesantren.

Sejatinya akar ideologi di atas mempunyai tautan kuat pada era masa keemasan Islam di Timur Tengah. Lihat saja beberapa kitab yang digunakan untuk membekukan ideology ini di tengah-tengah santri, sebut saja Ta’limul Muta’llim yang lebih menekankan pada amaliyah-sufistik dengan metode personal-monolog dan mementahkan sikap kritis. Sikap ini kemudian diterjemahkan pada pola pandang yang menghegemoni dengan sebutan iktisab barokah. Maka tidak jarang pada realitanya banyak kalangan muslim yang sengaja masuk pesantren dengan berorientasi pada barokah.

Celah ataupun kekurangan lain yang perlu disadari adalah menghegemoninya Arabisasi atau gerakan meng-arabkan pesantren secara penampilan dan isi (performa-dan substansi). Maka tak jarang di sebagian besar pesantren di negeri ini, Bahasa Arab (Nahwu-Shorrof), Fiqh, Tafsir, Hadits dan Aqidah saja yang menjadi materi ajarnya. Kemudian yang lebih menjenuhkan, ketika materi ajar itu hanya diupayakan pada batas pengamalan saja tidak sampai pada mengkaji dan mengkritisinya.

Diakui beberapa pesantren ada yang sudah berupaya memadukan ilmu pengetahuan secara integral tanpa memetak-metakkan lagi. Namun tradisi naqdu ilmi belum secara utuh diterapkan didalamnya. Sehingga pola atau system yang berjalan hanya pada tataran iktisab ilmi belum pada tataran intaj ilmi. Sesuatu yang langka ini seharusnya sudah disadari oleh para elit pesantren untuk memasukkannya dalam sistem pesantren sebagai upaya penyegaran yang berarah pada pendakian positif.

Kendala lain dalam menanamkan sikap progresif pada dunia pesantren adalah, mengakarnya antipati terhadap Belanda yang berlebihan (Dutch sentimental). Antipati yang membabibuta ini kemudian berujung pada sentiment luar biasa pada sesuatu yang datang dari Barat. Apapun perkembangan yang dibawa oleh Barat (dunia luar pesantren) dianggap oleh sebagian kalangan pesantren sebagai sesuatu yang sesat. Pandangan dangkal inilah yang sering kali memunculkan sikap anarkis, sehingga tak jarang ada beberapa alumni pesantren yang terjerumus dalam kubangan paham taklidiyah yang terimplikasi lewat tindakan-tindakan teror.

Kenisacayaan pesantren untuk membuka diri dan keluar dari pola regresif pada pola progresif adalah tak terbantahkan sebagai langkah preventif dari tergususnya pesantren dari negeri tercnta ini. Hal ini merupakan solusi tunggal agar pesantren tetap eksis dan kembali mendapat citranya dari pandangan publik dan pemerintah. Solusi ini sebenarnya bagian dari kekayaan adagium pesantren yang selama ini banyak dilupakan oleh kalangan orang pesantren itu sendiri yang berbunyi ‘’almuhafadhah ‘ala qodimis sholeh wal akhdu min jadidil aslah”. Harapan final dari upaya ini adalah terciptanya pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya sebagai hasil budaya (muntaj tsaqofah) tapi di sisi lain pesantren juga sebagai penghasil budaya (muntij tsaqofah). [ijan09]


*)ditulis sebagai kado buat Pesantren menjelang Dirgahayu RI yang ke-64